Friday, June 24, 2011

Sudah ku pukul berkali-kali



Tidak ada yang bahkan melihatku. Waktu yang membuat semuanya tak lagi peduli. Aku duduk disini untuk melihat waktu itu sendiri berlalu, berlangsung. Rajukan anak itu tak juga memenuhi hasratnya. Ia mulai berpolitik, sepintas dengan sang bunda, tapi apapun yang dilakukannya bahkan semua orang-termasuk aku-, berpolitik dengan waktunya.

Ada yang meluncurkan kata-kata menggigit. Menjadi sensasi agar manusia di depannya tau bahwa ia tak ingin kehilangan miliknya dengan hal yang tak produktif.

Ada yang memilih untuk memukul dirinya berkali-kali, upaya untuk memacu untuk berlari lebih kencang, mengalahkan waktunya.

Pria itu, mencoba terus berdiam diri, katanya sih berfikir. Upaya yang tak ada aksi namun terbilang menghasilkan.

Nenek pun punya cara untuk menyedu teh hangat dalam cangkir dalam genggamannya. Memutar, memilih sisi untuk tempat bibirnya mendarat. Lalu dengan lagi-lagi waktunya yang ia anggap miliknya, ia mengatur jumlah detik seruputannya, terus begitu hingga cangkir itu kosong.

Aku senang seperti ini, melihat waktu orang lain, dengan memanfaatkan waktuku.
Ini istirahat yang aku pilih, dengan kesadaran penuh, dan mencoba memahami, memperhatikan orang lain mengosongkan waktunya.

Bagaimana aku memutar dan memilih sisi cangkir dan lalu ku kosongkan pula cangkir yang berisi teh, Bagaimana aku mencoba memacu sinaps untuk saling berlompat-lompatan memenuhi aliran listrik di otak, Bagaimana aku pun berpolitik seperti anak kecil, agar menghasilkan sensasi bagi orang lain, atau bahkan aku pun memukul diriku berkali-kali agar aku pun dapat cepat berlari kencang.

Andai aku bisa membunuh waktu

Club 8 : we're simple minds dengannya aku menulis

  © Blogger template 'Morning Drink' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP