Thursday, June 12, 2008

Untuk Kamu cinta


Dya tiba2 duduk tepat di belakang kami, Menyendiri. Setelah beberapa saat lalu ia menutup telpon. Wajahnya tertunduk, lalu mencoba menatap lurus kedepan seakan mendengarkan, tetapi raut wajahnya tak bisa sembunyikan sesuatu yang sampai detik itu bergemuruh di hatinya. Tatapannya bercerita, aku bisa membaca cerita itu. Walau tak pernah tahu bagian demi bagiannya, tapi tema kesedihan seakan-akan menjadi headline di ceritanya. Ia luruskan kakinya, menyenderkan bahunya, seakan ingin memberitahukan dirinya bahwa, ”aku lelah, benar-benar lelah”. Bisikan itu sampai padaku. Aku kembali memeriksa bahwa dirinya baik-baik saja. Ternyata tidak, aku tahu itu, PASTI !. 

Sejenak ku senderkan pula bahuku di dekatnya, mencoba menatap matanya yang tertunduk. Aku bisa melihat alis matanya, bahkan lentik bulu matanya. Hanya itu. Tak bisa lagi, karena bola matanya malu untuk terlihat untuk ku. Tiba2 ia seakan berbisik, mengeluarkan suaranya, dan bibirnya bergerak sekedar berkata bahwa ayahnya ingin melihat wajahnya. Aku semakin sok tahu menebak sebagian cerita hidupnya . ”Ayo ke kamar!”, 


Di dipan pendek itu kami memulai bertukar simbol, simbol yang sebenarnya tak ingin ku terima, karena akibat yang pasti tak ingin ku lihat. Karena aku sayang padanya. Sayang untuk tidak melihatnya dalam keadaan seperti itu. Kata demi kata ia ungkapkan bagian cerita yang sampai saat itu aku tak pernah tahu. Bagian cerita yang tak pernah ku sentuh. Ia seorang yang cukup pintar untuk menyembunyikan semuanya, semua, hingga aku pun tak pernah berfikir untuk peduli. Tapi saat itu, air mataku pun tak sanggup untuk ku simpan. Ia membuatku juga tak bisa berfikir. Keadaan ayahnya yang tak bisa ku mengerti bahkan ia mengerti. Keadaan ayahnya yang sulit untuk difahami, bagiku juga ia. Rahasia Allah, yuri. Rencana Allah, yuri. Tak bisa kubayangkan seorang Ayah yang tak pernah tahu keberadaan anaknya walau ia berada di sisinya. 

---

Aku pernah sekali bertemu dan menyapa Ayahnya, tak sekurus setelah ku melihatnnya terbaring, tak berdaya. Dya tetap tersenyum pada kami, menyilahkan kami untuk memasuki ruang sebesar 4 X 4 meter. Ruang yang cukup nyaman, mungkin sudah ribuan doa tersimpan dalam ruang tersebut. Doa itu yang kuyakini membuat ruangan kecil itu menyamankan diri Ayahnya. Kami memulai menundukkan kepala, melengkapi doa-doa sebelumnya. Setidaknya akan membuat ruangan itu tempat istirahat yang paling nyaman di dunia. [hanya itu yang bisa kami lakukan, yuri]. Sang bunda berdiri di pojok kamar, Dya melingkarkan tangannya ke bahu ibunda. Kami tak tahu jelas apa yang terjadi selanjutnya. Yang aku tahu pasti, Dya sesekali menyeka air mata Ibunda. Ntah untuk siapa. Seakan menunjukan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dya lagi-lagi menyimpan suara hati nya itu sendiri. Aku tahu PASTI itu. 

--- 

Beberapa waktu..

Pesan singkat itu kubaca. Akhirnya telah datang. Aku hanya bisa menyebut nama pemilik jiwa, dan berkata ”Innalillahi wa inna ilahi rojiun”. Apalagi yang bisa kuperbuat untunya selain kata indah itu. Janji yang akhirnya Allah tepati. 


--- 

”Smoga Allah memberi tempat yang lebih nyaman dari ruangan kecil itu di dunia, karena Ayah berada di sisi DZAT pemilik jiwa, Ia yang menyimpan doa-doa itu selama ini.”



  © Blogger template 'Morning Drink' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP